Bismillah. Alhamdulillah. Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad wa ala ali Sayyidina Muhammad.

اللهم إني اسئلك رضاك والجنة واعوذ بك من سختك والنار برحمتك ياارحم الراحمين

Allahumma, Ya Allah, sungguh aku mohon kepada-Mu ridlo-Mu dan surga-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari murka-Mu dan siksa api neraka, dengan luasnya rahmat-Mu wahai Dzat Yang sebaik-baiknya Pemberi kasih sayang. Aamiin.

Al-Qur’an surah Aṭ-Ṭūr/52 ayat 17

اِنَّ الْمُتَّقِيْنَ فِيْ جَنّٰتٍ وَّنَعِيْمٍۙ

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam surga dan kenikmatan,

TAFSIR TAHLILI
(17) Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang yang takut akan murka Tuhannya, mereka melaksanakan ibadat kepada-Nya baik dengan terang-terangan atau tidak, memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap Tuhan, dan menjalankan peraturan-peraturan agama, tidak mengerjakan suatu perbuatan maksiat yakni tidak menodai dirinya dengan dosa dan tidak menodai jiwanya dengan kemunafikan.
Kepada mereka Tuhan memberikan balasan surga, di dalamnya mereka bersenang-senang. Mereka mendapat apa yang belum pernah mereka lihat, belum pernah mereka dengar, dan belum pernah diterangkan oleh seorang manusia pun. Semuanya itu sebagai balasan atas perbuatan baik mereka selama hidup di dunia. Mereka menjauhi kemewahan duniawi yang membuat lalai pada ibadah serta bersabar atas cobaan-cobaan yang menimpa mereka dengan harapan agar mendapat rida Allah.

QS. Aṭ-Ṭūr/52 ayat 18

فٰكِهِيْنَ بِمَآ اٰتٰىهُمْ رَبُّهُمْۚ وَوَقٰىهُمْ رَبُّهُمْ عَذَابَ الْجَحِيْمِ

mereka bersuka ria dengan apa yang diberikan Tuhan kepada mereka; dan Tuhan memelihara mereka dari azab neraka.

TAFSIR TAHLILI
(18) Dalam ayat ini digambarkan bahwa mereka merasakan suka cita dan kebahagiaan yang penuh karena anugrah dan hadiah-hadiah yang dilimpah-kan Allah kepadanya. Mereka tidak pernah terganggu oleh segala macam was-was atau dihinggapi oleh perasaan lelah. Mereka betul-betul berada dalam kesenangan dan kenikmatan serta kelezatan luar biasa, muka mereka berseri-seri, ceria, dan riang gembira. Mereka telah diselamatkan oleh Tuhannya dari azab. Mereka kini merasakan segala kenikmatan dan jauh dari kesengsaraan. Itulah kesenangan yang benar dan nikmat yang abadi.

QS. Aṭ-Ṭūr/52: 19

كُلُوْا وَاشْرَبُوْا هَنِيْۤـًٔا ۢبِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۙ

(Dikatakan kepada mereka), “Makan dan minumlah dengan rasa nikmat sebagai balasan dari apa yang telah kamu kerjakan.”

TAFSIR TAHLILI
(19) Dalam ayat ini Allah membolehkan mereka memakan dan meminum apa yang telah tersedia berupa segala makanan dan minuman yang lezat-lezat. Mereka tidak lagi khawatir bahaya yang akan menimpa seperti halnya apa yang mereka saksikan di dunia tentang adanya bahaya makanan dan minuman. Semua itu sebagai balasan terhadap segala amal baik mereka dan sebagai balasan atas kesungguhan mereka di dunia dalam berbakti kepada Allah swt. Mereka betul-betul merasa nikmat di akhirat itu.
Diriwayatkan bahwa Rabi‘ bin Hisyam melakukan salat sepanjang malam. Lalu seorang bertanya kepadanya mengapa ia melelahkan dirinya seperti itu. Maka jawabannya bahwa ia memerlukan istirahat di akhirat nanti. Dalam ayat yang lain yang sama artinya Allah berfirman:

كُلُوْا وَاشْرَبُوْا هَنِيْۤـًٔا ۢبِمَآ اَسْلَفْتُمْ فِى الْاَيَّامِ الْخَالِيَةِ ٢٤

(Kepada mereka dikatakan),“Makan dan minumlah dengan nikmat karena amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.” (al-Haqqah 69: 24) ;Perkataan hani’an dalam ayat ini berarti kenikmatan makanan dan minuman dan terhindar dari segala apa yang membahayakan.
Orang yang makan di dunia kadang-kadang mendatangkan penyakit dan lain-lain, sehingga ia kurang tenang dan kurang enak makan. Atau ia takut akan segera habisnya makanan itu sehingga ia harus mencarinya lagi. Atau karena habis, lalu kemudian harus memasak lagi hingga matang dan dapat dimakan. Hal-hal seperti ini tidak akan ditemui di surga.
Perkataan “bima kuntum ta‘malun” dalam ayat ini, berarti sebagai balasan yang telah kamu perbuat di dunia, hal ini sebagai isyarat bahwa Allah telah memenuhi apa yang telah dijanjikan oleh-Nya di dunia, sebab tidak ada nikmat di dunia yang bisa diperoleh tanpa adanya susah payah dahulu. Berlainan halnya dengan nikmat di akhirat. Nikmat di akhirat sebagai balasan atas iman dan amal saleh di dunia sebagaimana dijelaskan oleh Allah di dalam firman-Nya:

يَمُنُّوْنَ عَلَيْكَ اَنْ اَسْلَمُوْا ۗ قُلْ لَّا تَمُنُّوْا عَلَيَّ اِسْلَامَكُمْ ۚبَلِ اللّٰهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ اَنْ هَدٰىكُمْ لِلْاِيْمَانِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ ١٧

Mereka merasa berjasa kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kamu merasa berjasa kepadaku dengan ke-islamanmu, sebenarnya Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan, jika kamu orang yang benar.” (al-hujurat/49: 17)

QS. Aṭ-Ṭūr/52: 20

مُتَّكِـِٕيْنَ عَلٰى سُرُرٍ مَّصْفُوْفَةٍۚ وَزَوَّجْنٰهُمْ بِحُوْرٍ عِيْنٍ

Mereka bersandar di atas dipan-dipan yang tersusun dan Kami berikan kepada mereka pasangan bidadari yang bermata indah.

TAFSIR TAHLILI
(20) Kemudian Allah menyebutkan apa yang mereka nikmati misalnya kasur-kasurnya (dipan-dipannya). Mereka duduk di sofa yang berjajar dengan santai tanpa suatu apapun yang membebani hati mereka. Tidak ada satu masalah pun yang mesti mereka hadapi waktu itu, sebab barang siapa yang duduk, sedangkan ia menghadapi suatu masalah atau di bebani pikiran oleh suatu masalah berarti pikiran dan hatinya tidak tenteram. Pada ayat ini dipergunakan kata-kata yajlis (duduk) bukan kata-kata yattaki’u (duduk santai). Dengan maksud untuk menjelaskan keadaan duduk seseorang yang diliputi kepuasan dan ketenteraman. Maka keadaan di surga itu menunjukkan suatu keadaan yang tenang, tanpa kesusahan, tanpa beban dan tanpa masalah. Dalam ayat yang lain yang sama artinya dikatakan:

عَلٰى سُرُرٍ مُّتَقٰبِلِيْنَ

Duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan. (al-Hijr/15: 47); Duduk santai sekadar ungkapan, sebagai salah satu contoh tentang kebebasan yang sebenarnya di dalam surga sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad saw:

إِنََّ الرَّجُلَ لَيَتَّكِئُ المُتَّكَأَ مِقْدَارَ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً مَا يَتَحَوَّلُ عَنْهُ وَﻻَيَمَلُّهُ يَأْتِيْهِ مَا اشْتَهَتْ نَفْسُهُ وَلَذَّتْ عَيْنُهُ. (رواه ابن أبي حاتم)

“Seseorang di dalam surga duduk santai selama 40 (empat puluh) tahun tidak berpindah dan tidak membosankannya, datang kepadanya (tanpa diusahakan) apa-apa yang diingini oleh hatinya dan disenangi oleh matanya.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim)

Kemudian diterangkan bahwa mereka di sana menikmati pasangan-pasangan mereka. Allah telah memberi mereka istri-istri yang cantik yang bermata jeli.

QS. Aṭ-Ṭūr /52: 21

وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ اَلَتْنٰهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍۗ كُلُّ امْرِئٍ ۢبِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ

Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.

TAFSIR TAHLILI
(21) Dalam ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa orang-orang yang beriman yang diikuti oleh anak cucu mereka dalam keimanan, akan dipertemukan Allah dalam satu tingkatan dan kedudukan yang sama sebagai karunia Allah kepada mereka meskipun para keturunan itu ternyata belum mencapai derajat tersebut dalam amal mereka. Sehingga orang tua mereka menjadi senang, maka sempurnalah kegembiraan mereka karena dapat berkumpul semua bersama-sama.
Ketika membaca ayat 21 ini Ibnu ‘Abbās berkata, bahwa keturunan anak cucu orang-orang beriman akan ditingkatkan oleh Allah swt derajatnya bila ternyata tingkatan mereka lebih rendah dari derajat orang tua mereka.
Kemudian Allah swt memberikan gambaran tentang situasi surga penuh kenikmatan seperti tersedianya makanan mereka di dalam surga. Setiap buah-buahan atau makanan yang mereka inginkan pasti mereka peroleh sesuai dengan selera mereka.
Kemudian digambarkan bagaimana mereka hidup senang di sana. Mereka saling berebutan minum, minum tetap dalam kesopanan, berbica-ra tentang hal lucu, di sana mereka dilayani oleh pelayan-pelayan yang sangat ramah dan cantik. Mereka juga membicarakan hal ihwal mereka di dunia dahulu sebelum mereka berada di dalam kesenangan dan keme-wahan surgawi.
Diriwayatkan bahwasanya Rasulullah bersabda:

اِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ الْجَنَّةَ سَأَلَ عَنْ أَبَوَيْهِ وَزَوْجَتِهِ وَوَلَدِهِ. فَيُقَالُ لَهُ إِنَّهُمْ لَمْ يَبْلُغُوْا دَرَجَتَكَ وَعَمَلَكَ. فَيَقُوْلُ رَبِّ قَدْ عَمِلْتُ لِي وَلَهُمْ فَيُؤْمَرُ بِإِلْحَاقِهِمْ بِهِ. (رواه ابن مردويه والطبراني عن ابن عباس)

Apabila seseorang memasuki surga, ia menanyakan kedua orang tuanya, istrinya, dan anaknya, maka dikatakan kepadanya: “Mereka belum sampai pada derajat dan amalanmu.” Maka ia berkata: “Ya Tuhanku, aku telah beramal untukku dan untuk mereka”. Maka (per-mohonannya dikabulkan Tuhan) disuruhlah mereka (orang tua, istri, anak) untuk bergabung dengan dia.” (Riwayat Ibnu Mardawaih dan at-Tabrani dari Ibnu ‘Abbas); Ini merupakan karunia Allah swt terhadap anak cucu yang beriman dan berkat amal bapak-bapak mereka sebab bapak pun memperoleh karu-nia Allah swt dengan berkat anak cucu mereka sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw:

اِنَّ اللهَ لَيَرْفَعُ الْعَبْدَ الدَّرَجَةَ فَيَقُوْلُ رَبِّ أَنَّى لِيْ هٰذِهِ الدَّرَجَةُ فَيَقُوْلُ بِدُعَاءِ وَلَدِكَ لَكَ. (رواه أحمد والبيهقي عن أبي هريرة)

Sesungguhnya Allah swt niscaya mengangkat derajat seorang hamba, lalu ia bertanya, “Ya Tuhanku, bagaimana aku memperoleh derajat ini?” Allah menjawab, “Kamu memperolehnya sebab doa anakmu.” (Riwayat Ahmad dan al-Bihaqi dari Abµ Hurairah); Hadis ini sejalan dengan hadis Nabi sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ إِذَا مَاتَ ابْنُ ﺁدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِﻻّﹶ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ. (رواه مسلم عن أبي هريرة)

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Apabila meninggal seorang anak Adam, maka terputuslah amalnya kecuali tiga: amal jariah, atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang saleh yang mendoakannya.”(Riwayat Muslim dari Abµ Hurairah); Kemudian pada ayat ini Allah menjelaskan lagi, bahwa pahala amal saleh para bapak yang saleh tidak dikurangi, meskipun kedudukan anak dan isteri mereka yang beriman diangkat derajat mereka menjadi sama dengan suami/bapak mereka sebagai karunia Allah swt. Pada akhir ayat ini Allah menegaskan, bahwa setiap orang memang hanya bertanggung-jawab terhadap amal dan perbuatan masing-masing. Perbuatan dosa istri atau anak tidak menjadi tanggung jawab ayah/suami, demikian pula perbuatan dosa ayah/suami tidak dibebankan pada anak atau istrinya.
Hal ini perlu ditegaskan bahwa hal itu merupakan prinsip dasar. Tetapi Allah memberi karunia banyak kepada orang tua yang beriman dan beramal saleh dengan menambah kebahagiaan orang tua untuk memenuhi keinginan orang tua berkumpul di surga bersama anak, istri dan cucu-cucunya, selama mereka beriman, meskipun derajat mereka lebih rendah, tetapi Allah mengangkat mereka menjadi sama dengan bapak yang mukmin dan saleh tadi. Apabila si anak berbahagia masuk surga dan merindukan bersama orang tuanya, maka Allah melimpahkan karunia-Nya, mengangkat bapak ibunya yang beriman untuk mendapat kebahagiaan bersama anak mereka di surga.
Karunia Allah yang demikian tidak mengubah prinsip setiap orang, hanya bertanggung jawab atas perbuatan masing-masing, meskipun tetap ada pengecualian yang lain seperti firman Allah swt:

كُلُّ نَفْسٍۢ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌۙ ٣٨ اِلَّآ اَصْحٰبَ الْيَمِيْنِ ۛ ٣٩

Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya, kecuali golongan kanan. (al-Muddatsir/74: 38-39)

Setiap orang akan diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya di hadapan Allah swt. Tanggung jawab itu tidak akan terlepas dari mereka kecuali golongan kanan yaitu orang-orang yang berbuat baik. Mereka inilah yang akan terlepas dari tanggung jawab disebabkan oleh ketaatan mereka beribadah kepada Allah swt.

والله المستعان واعلم
اللهم ارحمنا بالقران العظيم

I’dad Ismail SM
Sumber: Tafsir Al-Qur’an Kementerian Agama RI.