Semarang, 26 Mei 2025 Program Studi Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang bekerja sama dengan Langgeng Culture Center menggelar sebuah kuliah tamu berupa bedah buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Acara ini mengusung tema “Membaca Kembali Bumi Manusia: Sastra, Sejarah, dan Kesadaran Kebangsaan” dan menghadirkan W. Sanavero seorang penulis prosa dan peneliti budaya dan sastra sebagai narasumber.

Kegiatan yang digelar pada Senin, 26 Mei (26/5) ini diikuti oleh 74 peserta, mayoritas merupakan mahasiswa Pendidikan Biologi. Seminar ini merupakan bagian dari proyek akademik yang telah dirancang oleh Elina Lestariyanti selaku dosen Fakultas Sains dan Teknologi (FST) sekaligus moderator dalam bedah buku ini.

“Seorang saintis pun memerlukan membaca sastra untuk memperkaya sudut pandangnyaTutur Elina saat membuka acara bedah buku. Menurut beliau, membaca sastra mampu membangun dimensi kemanusiaan, empati, dan refleksi, yang sangat dibutuhkan dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang berakar pada realitas sosial.

Dalam seminar tersebut, W. Sanavero yang akrab disapa Kak Vero ini berbagi kisah perjalanannya dalam dunia sastra. Ketertarikan pada sastra sudah tumbuh sejak kecil yang didorong oleh tradisi membaca dalam keluarganya yang memperkenalkannya pertama kali pada sastra Jawa. Lulusan S1 Sastra Arab ini kemudian melanjutkan studi magisternya di India, bukan tanpa alasan. Ia mengaku mengalami kegelisahan terhadap sastra Indonesia, dan India menjadi pilihannya.

“Saya harus kembali untuk Indonesia,” ungkapnya, menegaskan semangat untuk membangun sastra tanah air dari dalam.

Dalam sesi bedah buku, Kak Vero menyoroti bahwa tokoh Minke dalam Bumi Manusia merupakan refleksi dari sosok nyata Tirto Adhi Soerjo yang merupakan tokoh pers pribumi pertama. Kak Vero mengungkap, meski alur ceritanya terlihat sederhana tetapi novel ini menyimpan nilai-nilai perjuangan, kesadaran sosial, serta kritik terhadap sistem kolonial. Salah satu kutipan paling menggugah bagi Kak Vero yaitu dari tokoh Nyai Ontosoroh berbunyi: Kita telah berjuang, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya Kalimat ini menurutnya menjadi cerminan perlawanan terhormat masyarakat terjajah terhadap ketimpangan yang dialami.

Saat penyampaian materi Kak Vero menyebutkan “Karya sastra seperti Bumi Manusia tidak hanya menyampaikan cerita, tapi menjadi rekam jejak peradaban. Ia menunjukkan bagaimana kolonialisme menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa, sekaligus mengangkat semangat kebangkitan nasional melalui kesadaran politik dan perlawanan hukum.”

Peserta seminar juga mengajukan pertanyaan kritis yang memperkaya diskusi. Salah satunya yaitu pertanyaan dari Naila Hannani “Novel Bumi Manusia sempat dilarang edar pada masa orde baru karena dianggap berbahaya, tapi setelah saya baca, saya belum menemukan letak berbahayanya dimana” tanyanya

“Yang sebenarnya berbahaya bukan bukunya, tapi ketakutan pihak-pihak tertentu terhadap gagasan-gagasan yang ditulis oleh Pram” tegasnya.

Diskusi juga menyentuh hubungan antara ilmu biologi, sejarah dan sastra. Menurut Kak Vero, dengan mempelajari biologi dan diperkaya dengan sastra dapat menumbuhkan kepedulian, keberpihakan, kesadaran dan pemahaman yang utuh. Hal ini karena sastra dapat menjadi ruang refleksi dan merupakan cerminan kehidupan itu sendiri. Ia mengajak para peserta untuk melihat bahwa penelitian ilmiah semestinya berpihak pada masyarakat dan lingkungan Indonesia.

Di akhir sesi, Kak Vero memberikan pesan yang menyentuh bagi para peserta, “Apa pun hal baik yang teman-teman sedang lakukan hari ini, mari diselesaikan. Meskipun kecil, pasti akan memberi dampak, jadi mari kita selesaikan.”

Sementara Elina selaku moderator menambahkan bahwa membaca bukan sekadar kegiatan akademik, tetapi sebuah cara untuk menyelami sejarah dan membangun kesadaran diri. “Satu buku membawa energinya masing-masing,” pungkasnya.

Melalui kegiatan ini, Program Studi Pendidikan Biologi membuktikan bahwa lintas ilmu bisa saling memperkaya. Sastra menjadi jembatan untuk melihat bangsa dengan lebih utuh, dan Bumi Manusia menjadi media refleksi bahwa kemerdekaan berpikir adalah milik siapa saja termasuk kita para calon saintis.

Oleh: Fitrotul Uyun

[HUMAS FST]